Jakarta Sekolah pemerintah berlabel internasional mewajibkan gurunya mengajar dengan menggunakan Bahasa Inggris dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari. Namun kebijakan ini menuai kontroversi saat sekolah lokal rasa internasional ini digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Apa kata mereka?
Berikut pernyataan tokoh pendidikan seperti dirangkum detikcom, Jumat (27/4/2012).
“Bahasa pengantar itu tetap (bahasa Indonesia). Tapi bahasa asing memang harus diadakan harus diperkuat, jadi itu nilai lebihnya. Jadi kita menggunakan bahasa asing untuk ekspansi, tanpa harus mengurangi nilai-nilai kita. Prinsipnya yang tidak boleh kan melunturkan,” kata Mendikbud M Nuh di Bidakara, Jakarta, Kamis (26/4/2012).
Berbeda dengan Mendikbud, pengamat pendidikan Darmaningtyas bersuara lebih lantang. Dia dengan tegas menolak Bahasa Inggris sebagai bahasa wajib dalam kegiatan belajar mengajar sekolah.
“Kemajuan suatu bangsa tidak ditentukan bahasa asing atau Bahasa Inggris. Jepang sampai sekarang tidak sampai 5 persen dari warganya bisa berbahasa Inggris. Bahasa bukan penentu kemajuan, penentu kemajuan adalah penghayatan nalar ilmu,” ungkap Darmaningtyas yang mengawali karier sebagai guru honorer di SMP Bina Muda, Gunung Kidul, pada 1982 silam ini
Sekolah berstandar internasional telah menjamur di berbagai SMP dan SMA negeri di seluruh penjuru Indonesia. Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), trend Bahasa Inggris ini merupakan kebanggaan semu.
“Itu kebanggaan semu. Kalau sudah bisa lancar berbahasa Inggris, terus mau apa? Apakah menunjukan kualitas? Apakah ketika sekolah menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, itu berarti kualitasnya internasional? Masa hanya karena berbahasa Inggris lalu sudah bangga,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.
Bahkan secara tegas pakar bahasa Abdul Chaer menyatakan penggunaan hal tersebut melanggar konstitusi.
“Penggunaan bahasa Inggris dalam proses belajar – mengajar di RSBI bertentangan dengan amanat konstitusi yang disebutkan dalam pasal 36 UUD 1945, dan pasal 29 ayat (1), (2), dan (3) UU No 24/2009,” kata Abdul Chaer.
Seperti diketahui, para orang tua murid dan aktivis pendidikan menguji pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas yang mengaku tak bisa mengakses satuan pendidikan RSBI/SBI ini lantaran mahal. Mereka adalah Andi Akbar Fitriyadi, Nadia Masykuria, Milang Tauhida (orang tua murid), Juwono, Lodewijk F Paat, Bambang Wisudo, Febri Antoni Arif (aktivis pendidikan).
Mereka menilai pasal yang mengatur penyelenggaraan satuan pendidikan bertaraf internasional itu diskriminatif. Keberadaan pasal itu menimbulkan praktek perlakuan yang berbeda antara sekolah umum dan RSBI/SBI. Misalnya, dalam sekolah umum fasilitasnya minim dan guru-gurunya kurang memenuhi kualifikasi. Sementara di sekolah RSBI fasilitas lengkap dan guru-gurunya berkualitas. RSBI juga menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar.
Menurut Darmaningtyas, bahasa pengantar Bahasa Inggris diatur dalam Permendiknas No 79/2009 pasal 5 ayat 3,4 dan 5 yang berbunyi:
(3) SBI dapat menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional bagi mata pelajaran tertentu.
(4) Pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan muatan lokal menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia.
(5) Penggunaan bahasa pengantar bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimulai dari kelas IV untuk SD. (trq/trq)
sumber : http://news.detik.com